Transaksi Kerja Sama Bagi Hasil
Oleh:
Delfa Gusfita
Prodi Ekonomi Syariah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN IB Padang
Abstrak
Penelitian ini mencoba menganalisis Syirkah, Mudharabah dan Muzara'ah. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana sistem bagi hasil menurut islam dan bagaimana penerapan bagi hasil pada bank muamalat menurut hukum islam. Dengan menggunakan penelitain Yuridis normative yaitu sistem bagi hasil telah dibolehkan dalam hukum islam yakni telah diatur dalam Al-Quran, Hadist, Ijma', Qiyas dan Fikih. Oleh karena itu para ulama sepakat memperbolehkan bagi hasil dengan akad Musyarakah, Mudharabah dan Muzara'ah ini digunakan dalam bermuamalah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia (PBI) telah mengeluarkan peraturan mengenai bagi hasil Musyarakah, Mudharabah dan Muzara'ah. Sistem bagi hasil ini pun telah di atur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Keyword
Syirkah, Mudharabah dan Muzara'ah
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa lepas untuk
berhubungan dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan manusia sangat beragam sehingga terkadang secara pribadi ia tidak
mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan
antara satu manusia dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya, harus
terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajibannya berdasarkan kesepakatan.
Hubungan ini merupakan fitrah yang sudah ditakdirkan oleh
Allah ,karena itulah merupakan kebutuhan sosial yang sejak manusia mulai
mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprensif dan universal
memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan
dalam setiap masa.
Dalam makalah ini, akan mencoba membahas muamalah dalam islam
seperti Syirkah, Mudharabah dan Muzara’ah.
2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian
Syirkah, Mudharabah dan Muzara’ah ?
b. Apa saja rukun
dan syarat Syirkah, Mudharabah dan Muzara’ah ?
c. Bagaimana
penerapan akad pada lembaga keuangan syariah ?
3. Tujuan
a. Untuk mengetahui
pengertian Syirkah, Mudharabah dan Muzara’ah
b. Untuk mengetahui
rukun dan syarat Syirkah, Mudharabah dan Muzara’ah
c. Untuk mengetahui
penerapan akad pada lembaga keuangan syariah
B.PEMBAHASAN
1. SYIRKAH/MUSYARAKAH
a. Pengertian
Syirkah
Syirkah (
شِرْكَةٌ) dalam arti bahasa adalah:
اْلاِ خْتِلاَ طُ اَيْ خَلْطُ اَحَدِ الْمَالَيْنِ بِاْلاَخَرِ بِحَيْثُ لاَ
يَمْتَا زَانِ عَنْ بَعْضِهِمَا
“Bercampur yakni bercampurnya salah satu
dari dua harta dengan lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya.”
Ibrahim Anis mengemukakan arti Syirkah menurut bahasa sebagai berikut:
شَرِ
كَتْ شِرْ كَةْ: كَانَ لِكُلٍّ مِنْهُمَا نَصِيْبٌ مِنْه
“Ia bersekutu dalam suatau persekutuan : masing-masing dari kedua
peserta itu memiliki bagian dari padanya”.
Defenisi Syirkah menurut istilah
terdapat perbedaan pendapat kalangan ulama.
a)
Menurut Hanafiyah
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad
(perjanjian) antara dua orang yang berserikat di dalam modal dan keuntungan.
b)
Menurut Malikiyah
Syirkah adalah persetujuan untuk melakukan
tasarruf (tindakan hukum) bagi keduanya beserta diri mereka yakni setiap orang
yang berserikat memberikan persetujuan kepada teman serikatnya untuk melakukan
tasarruf terhadap harta keduanya disamping masih di tetapkan hak tasarruf bagi
masing-masing peserta.
c)
Menurut Syafi’iyah
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan
tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara
bersama-sama.
d)
Menurut Hanabilah
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam
kepemilikan atas hak dan tasarruf.
e)
Dalam kamus Al-Mu’jam
Al-Wasith dikemukakan:
Syirkah adalah suatua akad antara dua orang atau
lebih untuk melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama.
Dari beberapa defenisi yang telah
dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa syirkah adalah suatu akad atau
perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk bekerja sama dalam suatu kegiatan
atau usaha, dimana modal dan keuntungan dimiliki oleh dan dibagi bersama kepada
semua pihak yang berserikat[1].
b. Dasar hukum syirkah
Syirkah mempunyai landasan hukum yang
kuat,baik dalam al-quran, sunnah, ijma’ dan dasar hukum lainnya.
a.
Firman Allah SWT dalam ( Qs.
An-nisa:12)
فَهُمْ شُرَ كَاءُ فِي
الثُّلُثِ
“Mereka
berkongsi untuk mendapatkan bagian sepertiga”
b. Hadist Abu Dawud Kitab Al-Buyu dari Abu Hurairah
عَنْ ا بِيْ حَيَّانَ التَيْمِيْ عَنْ ابِيْهِ عَنْ ابِيْ هُرَيْرَةِ
رَفَعَهُ قَالَ اِنَّ اللَّهَ يَقُوْلُ اَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَا لَمْ
يَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَاِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
“Dari Abu Hayyan Al-Taimi dari ayahnya dari Abu Hurairah
Rasulullah bersabda:sesunggauhnya Allah SWT berfirman ‘aku adalah pihak ketiga
dari dua orang yang bersekutu selama salah satu diantara mereka tidak
menghianati lainnya, apabila salah seorang dianatara mereka menghianati
lainnya, maka aku keluar dari persekutuan mereka”.[2]
c. Rukun dan
syarat Syirkah
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan rukun dan
syarat syirkah. Menurut ulama Hanafiyah, rukun syirkah adalah ijab dan kabul,
yakni pernyataan kehendak melakukan syirkah yang datang daripara pihak yang
berakad. Pernyataan yang kehendak ini dituangkan dalam kontrak kerja sama yang
ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Sementara itu menurut jumhur ulama
rukun dan akad ada empat , yakni dua orang berakad (aqidain), maqid ‘alaih yang
terdiri dari modal dan keuntungan, ijab dan kabul, dengan syarat-syarat:
1. ‘Aqidain
(para pihak yang berserikat), diisyaratkan mempunyai ahliyah al-ada’
(kepantasan melakukan transaksi ) yakni baligh dan berakal, cerdas dan tidak di
hajr (dicekal melakukan tasharuf terhadap harta bendanya).
2. Ma’qud
‘alaih (objek syirkah), yakni modal dan keuntungan,diisyaratkan:
1) Modal harus
jelas adanya dan diketahui jumlahnya.
2) Para ulama
sepakat modal dalam syirkah harus dalam bentuk uang.
3) Modal diserahkan
secara tunai bukan dalam bentuk utang.
4) Keuntungan
dibagi antara anggota syarikat menurut kesepakatan.
5) Pembagian
keuntungan dinyatakan secara jelasketika akad, misalnya seperdua, sepertiga dan
sebagainya.
6) Proporsi
keuntungan ditetapkan berdasarkan penyertaan modal anggota syirkah.
3. Ijab dan
kabul, diisyaratkan:
1) Jelas menunjukan
makna syirkah atau yang semakna dengan itu.
2) Dinyatakan dalam
bentuk keizinan anggota yang berserikat untuk mentasharufkann harta yang
diisyaratkan.[3]
d.
Macam-macam Syirkah
Secara garis besar syirkah terbagi kepada dua bagian:
1. Syirkah Al-Amlak, syirkah milik adalah
kepemilikan anatara dua orang atau lebih terhadap suatau barang tanpa melalui
akad syirkah.
Syirkah
milik terbagi kepada dua bagian:
1. Syirkah Ikhtiyariyah,yaitu suatu bentuk
kepemilikan bersama yang timbul karena orang-orang yang berserikat.
2. Syirkah Jabariyah,yaitu suatu bentuk
kepemilikan bersama yang timbul bukan karena perbuatan orang-orang yang
berserikat melainkan harus terpaksa diterima oleh mereka.
2. Syirkah
Al-‘Uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang terjadi antara dua orang atau
lebih untuk bersekutu didalam modal dan keuntungannya.
Syirkah
‘uqud terbagi kepada beberapa bagian:
1. Menurut
Hanabilah Syirkah ‘uqud itu ada lima macam:
a. Syirkah ‘inan
b. Syirkah mudharabah
c. Syirkah wujuh
d. Syirkah abdan
e. Syirkah mufawadhah
2. Menurut
Hanafiyah, syirkah ‘uqud itu ada tiga macam:
a. Syirkah amwal
b. Syirkah a’mal
c. Syirkah wujuh
3. Menurut
Malikiyah dan Syafi’iyah, syirkah itu ada empat macam:
a. Syirkah abdan
b. Syirkah muwafadhah
c. Syirkah ‘inan
Dari jenis-jenis syirkah yang telah dikemukakan diatas, para
ulama sepakat bahwa syirkah ‘inan hukumnya dibolehkan. Sedangkan syirkah yang
lainnya diperselisihkan. Syafi’iyah
Zahiriyah dan Imamiyah menganggap semua hukum syirkah tersebut batal kecuali
syirkah ‘inan dan syirkah mudharabah. Hanabilah membolehkan semua jenis syirkah
kecuali syirkah muwafadhah. Malikiyah membolehkan semua syirkah ,kecuali
syirkah wujuh. Sedangkan Hanafiah dan Zaidiyah membolehkan semua jenis syirkah
tersebut tanpa kecuali, apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dipenuhi[4].
e. Hal-hal yang membatalkan syirkah
Adapun yang membatalkan syirkah secara umum adalah hal-hal
sebagai berikut:
1) Salah seorang
anggota syarikat membatalkan akad. Hal ini karena akad syirkah merupakan akad
yang bersifat jaiz ghairu lazim (tidak
mengikat) sehingga dapat difasakhkan oleh salah satu pihak.
2) Hilangnya
kecakapan bertindak hukum dari salah seorang yang berserikat, misalnya gila,
meninggal dunia dan murtad.
3) Harta syirkah musnah atau rusak seluruhnya
atau sebagian.
4) Tidak terciptanya kesamaan pada akad syirkah
mufawadhah, baik dari segi modal, kerja, keuntungan dan agama.
f. Aplikasi syirkah pada perbankan syariah
Akad syirkah pada
perbankan syariah diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan al-musyarakah.
Ketentuan dasar mengenai sistem pembiayaan musyarakah pada lembaga keuangan
syariah tertuang dalam fatwa Dewan
Syariah Nasional No.08/DSN MUI/IV/2000. Pembiayaan musyarakah yaitu pembiayaan
berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatau usaha
tertentu, masing-masing pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
Bentuk kedua dari pembiayaan musyarakah ini dikenal dengan
musyarakah mutanaqishah sesuai dengan pihak memberikan kontribusi data dengan
ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. Dalam aplikasi perbankan syariah,musyarakah diterapkan dalam
pembiayaan, diman bank sebagai pemilik modal bekerja sama dengan pengusaha
dengan kontribusi modal dan fatwa Dewan Syariah Nasioal No.73/DSN MUI/XI/2008
tentang musyarakah mutanaqishah. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan
musyarakah mutanaqishah adalah musyarakah atau syirkah yang kepemilkan asset
(barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian
secara bertahap oleh pihak lain.[5]
2. MUDHARABAH
a. Pengertian Mudharabah
Secara
bahasa Mudharabah diambil dari kata
dhraba fil ardh. Artinya, melakukan perjalanan dalam rangka berdagang.
Mudharabah dinamakan pula dengan qiradh yang berasal dari kata al-ardh.
Artinya, potongan karena pemilik harta memotong sebagian hartanya untuk di
perdagangkan dan mendapatkan sebagian dari keuntungan.[6]
Dalam
pengertian istilah mudharabah di defenisikan Wabbah Zuhaili sebagai berikut:
Mudharabah adalah akad penyerahan modal oleh si pemilik modal
kepada pengelola untuk di perdagangkan dan keuntungan dimiliki bersama oleh
keduanya sesuai dengan persyaratan yang mereka buat.
Yang dimkasud dengan mudharabah adalah suatu akad antara dua
pihak dimana salah satu pihak memberikan modal kepada pihak lain untuk
diperdagangkan dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi diantara mereka berdua
sesuai dengan kesepakatan mereka.
Dari
defenisi tersebut dapat dipahami bahwa muudharabah adalah suatu akad atau
perjanjian antara dua orang atau lebih, dimana pihak pertama memberikan modal
usaha, sedangkan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian,dengan ketentuan
bahwa keuntungan dibadi antara mereka dengan kesepakatan yang mereka tetapkan
bersama.
b. Dasar hukum
mudharabah
Para
ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya dibolehkan berdasarkan alquran,
sunah, ijma’ dan qiyas. Adapun dalil alquran antara lain (Qs. Al-Muzammil:20)
وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُوْنَ فِي اْلاَرْضِ
يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian
karunia Allah”.[7]
c. Rukun dan syarat
mudharabah
Dalam menetapkan rukun mudharabah para ulama dalam hal ini
berbeda pendapat. Ulama Hanafiyah mengemukakan rukun mudharabah adalah ijab dan
kabul yang diucapkan oleh dua orang yang berakad, tidak diisyaratkan lafaz
tertentu, tetapi kad sudah sempurna dengan lafaz yang menunjukan pengertian
mudharabah. Rukun mudharabah menurut pandangan jumhur ulama ada empat, yakni
aqidain (dua orang yang berakad), ma’quh ‘alaih (objek akad), sighat (ijab dan
kabul).Sementara itu rukun mudharabah menurut ulama Syafi’iyah ada lima, yakni
harta, pekerjaan, keuntungan, sighat dan dua orang yang berakad.
Mengenai syarat mudharabah dikalangan para ulama terjadi
perbedaan pendapat. Wahbah Zuhaily berpendapat untuk sahnya suatu akad
mudharabah harus memenuhi beberapa
syarat yaitu:
a) Syarat yang
terkait dengan orang yang berakad,ialah cakap untuk berwakil, menerima wakil,
dan tidak diisyaratkn keduanya muslim.
b) Syarat modal
yaitu, modal berbentuk uang, modal harud diketahui jumlahnya, modal harus tunai
tidak berupa utang dan modal diserahkan kepada pekerja.
c) Syarat yang
terkait dengan laba yakni, laba diketahui jumlahnya, laba dinbagi menurut
ukuran tertentu sesuai dengan kesepakatan seperti seperdua,sepertiga dan
sebagainya[8].
Menurut ulama Syafi’iyah rukun-rukun qiradh ada enam ,yaitu:
a) Pemilik barang
yang menyerahkan barang-barangnya.
b) Orang yang
bekerja
c) Aqad mudharabah
d) Mal (harta)
e) Amal
(pengelolaan harta)
f) Keuntungan
Menurut Sayyid Saqid, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul
yang keluar dari orang yang memiliki keahlian[9].
d. Jenis akad mudharabah
Mudharabah diklasifikasikan kedalam 3 jenis yaitu mudharabah
muthlaqah, mudharabah Muqayyadah, mudharabahMusytarakah. Berikut adalah
pengertian masing-masing jenias mudharabah.
a) Mudharabah
Muthlaqah adalah mudharabah dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada
pengelola dana dalam pengelolaan investasinya.
b) Mudharabah
Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan kepada
pengelola antara lain mengenai dana, lokasi, cara, dan sektor usaha.
c) Mudharabah
Musytarakah adalah mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau
dananya dalam kerja sama investasi.[10]
e. Hal-hal yang membatalkan mudharabah
Mudharabah dapat batal karena hal-hal sebagai berikut:
1) Pembatalan,
larangan tasarruf dan pemecatan
2) Meninggalnya
salah satu pihak
3) Salah satu pihak
terserang penyakit gila
4) pemilik modal
murtad
5) Harta mudharabah
rusak di tangan mudharib.[11]
f. Aplikasi mudharabah pada perbankan syariah
Akad mudharabah di bank syariah diterapkan pada produk-produk
penghimpunan dana masyarakat (funding) dan penyaluran dana (financing). Pada
sisi funding, mudharabah diterapkan pada:
a) Tabungan, baik
tabungan biasa maupun tabungan berjangka, seperti tabungan haji dan kurban.
Prod uk penghimpunan dana ini didasarkan kepada fatwa Dewan Syariah Nasional
No.02/DSN-MUI/IV/2000 tentang tabungan. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan
tabungan adalah simpanan dana yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut
syarat-syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan
cek, bilyet giro, atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b) Deposito,baik
deposito biasa maupun deposito spesial dimana dana yang dititipkan pada bank
khusus untuk bisnis tertentu. Produk ini
didasarkan pada Fatwa Dewan Syariah Nasional No.03/DSN-MUI/IV/2000 tentang
deposito. Pada fatwa ini, yang dimaksud dengan deposito adalah simpanan dana
berjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.[12]
3. MUZARA’AH
a. Defenisi Muzara’ah
Muzara’ah dalam arti bahasa berasal dari wazn mufa’alah dari
akar kata zara’a yang sinonimnya: anbata yang berarti menumbuhkan dan
mengembangkan. Muzara’ah yang fiil madhinya zara’a seperti dalam kalimat
zaraahu muzaraatan yaitu ia bermuamalah (mengadakan kerja sama) dengan cara
muzara’ah.
Dalam pengertian istilah,muzara’ah diartikan sebagai berikut:
Muzara’ah
adalah suatu cara untuk menjadikan tanah pertanian menjadi produktif dengan
bekerja sama antara pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan
hasilnya dibagi diantara mereka berdua dengan perbandingan yang dinyatakan
dalam perjanjian atau perdasarka urf (adat kebiasaan).[13]
Secara terminologis terdapat beberapa defenisi muzara’ah yang
dikemukakan ulama fiqih.
a) Ulama
Malikiyah,mendefenisikan, muzara’ah adalah perserikatan dalam pertanian.
b) Ulama
Hanabillah,mendefenisikan, muzara’ah adalah penyerahan tanah pertanian kepada
seeorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi dua.
c) Imam Syafi’i,
mendefenisikan,muzara’ah adalah pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan
hasil pertanian sedangkan bibit pertanian disediakan oleh penggarap tanah.
Jadi muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik tanah dan
penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan
bersama, sedangkan bibit tanaman berasal dari pemilik tanah.[14]
b. Dasar hukum muzara’ah
a) Diriwayatkan
dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah khaibar kepada
penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan
pembagian hasil buah-buahan dan tanam-tanaman.
b) Diriwatkan oleh
Bukhari dari Jabir yang menyatakan bahwa bangsa arab senantiasa mengolah tanahnya
secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3, 2/3, 3/4,1/2 dan 1/2, maka
Rasulullah SAW pun bersabda:”Hendaklah menanami dan menyerahkannya untuk di
garap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah
tanahnya”.
c. Rukun dan syarat muzara’ah
Rukun
muzara’ah
a) Pemilik lahan
b) Penggarap
c) Lahan yang di
garap
d) Akad
Syarat-syarat
muzara’ah
a) Pemilik lahan
harus menyerahkan lahan yang akan di garap kepada pihak yang akan menggarap.
b) Penggarap wajib
memiliki keterampilan bertani dan bersedia menggarap lahan yang di terimanya.
c) Penggarap wajib
memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila pengelolaan yang dilakukan
menghasilkan keuntungan.
d) Akad muzara’ah
dapat dilakukan secara multak atau terbatas.
e) Penggarap wajib
memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi lahan, keadaan cuaca, serta cara
yang memungkinkan untuk mengatasinya menjelang musim tanam.
f) Hak penggarap
lahan dapat dipindahkan dengan cara diwariskan bila penggarap meninggal dunia
sampai tanamannya bisa dipanen.[15]
d. Bentuk-bentuk muzara’ah
Bentuk-bentuk
muzara’ah ada empat, yakni:
a) Lahan dan bibit
dari pemilik lahan, sedangkan kerja dan peralatan pertanian dari petani.Bentuk
akad muzara’ah seperti ini dibolehkan karena petani menerima hasil pertanian
karena jasanya.
b) Pemilik lahan
menyediakan lahan pertanian, bibit, peralatan partanian, dan kerja dari petani.
Akad muzara’ah ini dibolehkan, karena yang menjadi objek akad ini adalah
mamfaat lahan pertanian.
c) Lahan pertanian,
bibit, dan peralatan pertanian dari pemilik lahan, sedangakan kerja dari
petani. Akad muzara’ah ini dibolehkan karena yang menjadi objek muzara’ah
adalah jasa petani.
d) Lahan pertanian
dan peralatan pertanian dari pemilik lahan sedangkan bibit, dan kerja dari
petani. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan Asy-Syaibani akad ini tidak
sah, karena peralatan pertanian harus mengikuti kepada petani bukan pemilik
lahan. Mamfaat lahan adalah untuk mengolah lahan pertanian.
e. Berakhirnya akad muzara’ah
Akad
muzara’ah berakhir dalam keadaan sebagai berikut:
a) Habis batas
waktu akad muzara’ah
b) Salah seorang
yang berakad meninggal dunia, menjadikan akad muzara’ah berakhir.
c) Akad fasakh
disebabkan adanya uzur (halangan) yang menyebabkan terhalangnya kedua belah
pihak melangsungkan akad muzara’ah diantaranya: pemilik lahan terbelenggu utang
yang menyebabkan dia pailit sehingga lahan pertanian tersebut harus di jual,
dan pemilik lahan mempunyai halangan,seperti harus melakukan perjalanan
sehingga ia tidak dapat melangsungkan akad.[16]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat kita
simpulkan bahwa dari kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari yang
namanya muamalah. Sebagian dari kita pasti ada yang berkecimpung dalam dunia
perekonomian. Dalam islam ada beberapa macam bentuk kerja sama,seperti Syirkah,
Mudharabah dan Muzara’ah.
Muzara’ah adalah bentuk kerja sama
dalam bidang pertanian, sedangkan mudharabah adalah bentuk kerja sama dengan
sistem meminjam modal dalam bentuk uang dan Syirkah adalah bentuk kerjasama
dengan menanggung untung dan kerugiannya bersama-sama.
Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun para pembaca terutama dari dosen mata kuliah ini, agar dapat pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan sarannya penulis ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Rozalinda.2017,
Fikih Ekonomi Syariah.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Wardi
Muslich,Ahmad.2017,Fikih Muamalah.Jakarta:Sinar Grafika Offset
Mustofa,Imam.2016,
Fikih Muamalah Kontemporer.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Ghazaly, Abdul
Rahman,Gufron Ihsan dan Syafiudin Shidiq.2012,Fikih Muamalat.Jakarta:Kencana
Mardani.2013,
Fikih Ekonomi Syariah.Jakarta:Kencana
Suhendi,Hendi.2014,
Fikih Muamalah.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
[1]
Ahmad Wardi Muslich, Muamalah Fikih (Jakarta:Sinar Grafika Offset,2017)
hlm 339-341
[2]
Imam Mustofa,Fikih Muamalah Kontemporer (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2016) hlm129-130
[3]
Rozalinda,Fikih Ekonomi Syariah
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2017) hlm 193-194
[4] Ahmad Wardi Muslich, Muamalah Fikih
(Jakarta:Sinar Grafika Offset,2017) hlm 344-346
[5]
Rozalinda,Fikih Ekonomi Syariah
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2017) hlm 200-201
[6]
Ibid, hlm. 205
[11]
Ahmad Wardi Muslich, Muamalah Fikih (Jakarta:Sinar Grafika Offset,2017)
hlm. 388-390
[13]
Ahmad Wardi Muslich, Muamalah Fikih (Jakarta:Sinar Grafika Offset,2017)
hlm. 391-392
[14]
Abdul Rahman Ghazaly,Gufron Ihsan dan Syafiudin Shidiq , Fikih
Muamalat (Jakarta:Kencana,2012)
hlm. 114-115
[15]
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah (Jakarta:Kencana,2013) hlm. 238-239