Sabtu, 15 Juni 2019

Makalah fikih muamalah




Transaksi Kerja Sama Bagi Hasil
 Oleh:
 Delfa Gusfita
 Prodi Ekonomi Syariah
 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN IB Padang

 Abstrak
Penelitian ini mencoba menganalisis Syirkah, Mudharabah dan Muzara'ah. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana sistem bagi hasil menurut islam dan bagaimana penerapan bagi hasil pada bank muamalat menurut hukum islam. Dengan menggunakan penelitain Yuridis normative yaitu sistem bagi hasil telah dibolehkan dalam hukum islam yakni telah diatur dalam Al-Quran, Hadist, Ijma', Qiyas dan Fikih. Oleh karena itu para ulama sepakat memperbolehkan bagi hasil dengan akad Musyarakah, Mudharabah dan Muzara'ah ini digunakan dalam bermuamalah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia (PBI) telah mengeluarkan peraturan mengenai bagi hasil Musyarakah, Mudharabah dan Muzara'ah. Sistem bagi hasil ini pun telah di atur dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.




 Keyword
Syirkah, Mudharabah dan Muzara'ah

 

A. PENDAHULUAN

 

1.  Latar Belakang

Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajibannya berdasarkan kesepakatan.
Hubungan ini merupakan fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah ,karena itulah merupakan kebutuhan sosial yang sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam makalah ini, akan mencoba membahas muamalah dalam islam seperti Syirkah, Mudharabah dan Muzara’ah.

2.  Rumusan Masalah

a.      Apa pengertian Syirkah, Mudharabah dan Muzara’ah ?
b.      Apa saja rukun dan syarat Syirkah, Mudharabah dan Muzara’ah ?
c.      Bagaimana penerapan akad pada lembaga keuangan syariah ?

3.  Tujuan

a.      Untuk mengetahui pengertian Syirkah, Mudharabah dan Muzara’ah
b.      Untuk mengetahui rukun dan syarat Syirkah, Mudharabah dan Muzara’ah
c.      Untuk mengetahui penerapan akad pada lembaga keuangan syariah

 

B.PEMBAHASAN

 

1. SYIRKAH/MUSYARAKAH

a. Pengertian Syirkah
Syirkah ( شِرْكَةٌ)  dalam arti bahasa adalah:
 اْلاِ خْتِلاَ طُ اَيْ خَلْطُ  اَحَدِ الْمَالَيْنِ بِاْلاَخَرِ بِحَيْثُ لاَ يَمْتَا زَانِ عَنْ بَعْضِهِمَا
“Bercampur yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya.”
Ibrahim Anis mengemukakan arti Syirkah menurut bahasa sebagai berikut:
شَرِ كَتْ شِرْ كَةْ: كَانَ لِكُلٍّ مِنْهُمَا نَصِيْبٌ مِنْه
“Ia bersekutu dalam suatau persekutuan : masing-masing dari kedua peserta itu memiliki bagian dari padanya”.
Defenisi Syirkah menurut istilah terdapat perbedaan pendapat kalangan ulama.
a)      Menurut Hanafiyah
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang berserikat di dalam modal dan keuntungan.
b)      Menurut Malikiyah
Syirkah adalah persetujuan untuk melakukan tasarruf (tindakan hukum) bagi keduanya beserta diri mereka yakni setiap orang yang berserikat memberikan persetujuan kepada teman serikatnya untuk melakukan tasarruf terhadap harta keduanya disamping masih di tetapkan hak tasarruf bagi masing-masing peserta.
c)      Menurut Syafi’iyah
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama.
d)     Menurut Hanabilah
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak dan tasarruf.
e)      Dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith dikemukakan:
Syirkah adalah suatua akad antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama.
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa syirkah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk bekerja sama dalam suatu kegiatan atau usaha, dimana modal dan keuntungan dimiliki oleh dan dibagi bersama kepada semua pihak yang berserikat[1].
b. Dasar hukum syirkah
Syirkah mempunyai landasan hukum yang kuat,baik dalam al-quran, sunnah, ijma’ dan dasar hukum lainnya.
a.       Firman Allah SWT dalam ( Qs. An-nisa:12)
فَهُمْ شُرَ كَاءُ فِي الثُّلُثِ
“Mereka berkongsi untuk mendapatkan bagian sepertiga”
b.       Hadist Abu Dawud Kitab Al-Buyu dari Abu Hurairah
عَنْ ا بِيْ حَيَّانَ التَيْمِيْ عَنْ ابِيْهِ عَنْ ابِيْ هُرَيْرَةِ رَفَعَهُ قَالَ اِنَّ اللَّهَ يَقُوْلُ اَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَاِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
“Dari Abu Hayyan Al-Taimi dari ayahnya dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda:sesunggauhnya Allah SWT berfirman ‘aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah satu diantara mereka tidak menghianati lainnya, apabila salah seorang dianatara mereka menghianati lainnya, maka aku keluar dari persekutuan mereka”.[2]
c. Rukun dan syarat Syirkah
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan rukun dan syarat syirkah. Menurut ulama Hanafiyah, rukun syirkah adalah ijab dan kabul, yakni pernyataan kehendak melakukan syirkah yang datang daripara pihak yang berakad. Pernyataan yang kehendak ini dituangkan dalam kontrak kerja sama yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Sementara itu menurut jumhur ulama rukun dan akad ada empat , yakni dua orang berakad (aqidain), maqid ‘alaih yang terdiri dari modal dan keuntungan, ijab dan kabul, dengan syarat-syarat:
1. ‘Aqidain (para pihak yang berserikat), diisyaratkan mempunyai ahliyah al-ada’ (kepantasan melakukan transaksi ) yakni baligh dan berakal, cerdas dan tidak di hajr (dicekal melakukan tasharuf terhadap harta bendanya).
2. Ma’qud ‘alaih (objek syirkah), yakni modal dan keuntungan,diisyaratkan:
1)      Modal harus jelas adanya dan diketahui jumlahnya.
2)      Para ulama sepakat modal dalam syirkah harus dalam bentuk uang.
3)      Modal diserahkan secara tunai bukan dalam bentuk utang.
4)      Keuntungan dibagi antara anggota syarikat menurut kesepakatan.
5)      Pembagian keuntungan dinyatakan secara jelasketika akad, misalnya seperdua, sepertiga dan sebagainya.
6)      Proporsi keuntungan ditetapkan berdasarkan penyertaan modal anggota syirkah.
3. Ijab dan kabul, diisyaratkan:
1)      Jelas menunjukan makna syirkah atau yang semakna dengan itu.
2)      Dinyatakan dalam bentuk keizinan anggota yang berserikat untuk mentasharufkann harta yang diisyaratkan.[3]
d. Macam-macam Syirkah
Secara garis besar syirkah terbagi kepada dua bagian:
1.  Syirkah Al-Amlak, syirkah milik adalah kepemilikan anatara dua orang atau lebih terhadap suatau barang tanpa melalui akad syirkah.
Syirkah milik terbagi kepada dua bagian:
1.      Syirkah Ikhtiyariyah,yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul karena orang-orang yang berserikat.
2.      Syirkah Jabariyah,yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul bukan karena perbuatan orang-orang yang berserikat melainkan harus terpaksa diterima oleh mereka.
2. Syirkah Al-‘Uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu didalam modal dan keuntungannya.
Syirkah ‘uqud terbagi kepada beberapa bagian:
1.      Menurut Hanabilah Syirkah ‘uqud itu ada lima macam:
a. Syirkah ‘inan
b. Syirkah mudharabah
c.  Syirkah wujuh
d.  Syirkah abdan
e.  Syirkah mufawadhah
2.      Menurut Hanafiyah, syirkah ‘uqud itu ada tiga macam:
a.  Syirkah amwal
b.  Syirkah a’mal
c.  Syirkah wujuh
3.      Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, syirkah itu ada empat macam:
a.  Syirkah abdan
b.  Syirkah muwafadhah
c.  Syirkah ‘inan
Dari jenis-jenis syirkah yang telah dikemukakan diatas, para ulama sepakat bahwa syirkah ‘inan hukumnya dibolehkan. Sedangkan syirkah yang lainnya  diperselisihkan. Syafi’iyah Zahiriyah dan Imamiyah menganggap semua hukum syirkah tersebut batal kecuali syirkah ‘inan dan syirkah mudharabah. Hanabilah membolehkan semua jenis syirkah kecuali syirkah muwafadhah. Malikiyah membolehkan semua syirkah ,kecuali syirkah wujuh. Sedangkan Hanafiah dan Zaidiyah membolehkan semua jenis syirkah tersebut tanpa kecuali, apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dipenuhi[4].
e.  Hal-hal yang membatalkan syirkah
Adapun yang membatalkan syirkah secara umum adalah hal-hal sebagai berikut:
1)      Salah seorang anggota syarikat membatalkan akad. Hal ini karena akad syirkah merupakan akad yang bersifat jaiz  ghairu lazim (tidak mengikat) sehingga dapat difasakhkan oleh salah satu pihak.
2)      Hilangnya kecakapan bertindak hukum dari salah seorang yang berserikat, misalnya gila, meninggal dunia dan murtad.
3)       Harta syirkah musnah atau rusak seluruhnya atau sebagian.
4)      Tidak terciptanya kesamaan pada akad syirkah mufawadhah, baik dari segi modal, kerja, keuntungan dan agama.
f.   Aplikasi syirkah pada perbankan syariah
 Akad syirkah pada perbankan syariah diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan al-musyarakah. Ketentuan dasar mengenai sistem pembiayaan musyarakah pada lembaga keuangan syariah tertuang dalam fatwa  Dewan Syariah Nasional No.08/DSN MUI/IV/2000. Pembiayaan musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatau usaha tertentu, masing-masing pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
Bentuk kedua dari pembiayaan musyarakah ini dikenal dengan musyarakah mutanaqishah sesuai dengan pihak memberikan kontribusi data dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dalam aplikasi perbankan syariah,musyarakah diterapkan dalam pembiayaan, diman bank sebagai pemilik modal bekerja sama dengan pengusaha dengan kontribusi modal dan fatwa Dewan Syariah Nasioal No.73/DSN MUI/XI/2008 tentang musyarakah mutanaqishah. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan musyarakah mutanaqishah adalah musyarakah atau syirkah yang kepemilkan asset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lain.[5]

2. MUDHARABAH

a.  Pengertian Mudharabah
                    Secara bahasa Mudharabah diambil dari  kata dhraba fil ardh. Artinya, melakukan perjalanan dalam rangka berdagang. Mudharabah dinamakan pula dengan qiradh yang berasal dari kata al-ardh. Artinya, potongan karena pemilik harta memotong sebagian hartanya untuk di perdagangkan dan mendapatkan sebagian dari keuntungan.[6]
                    Dalam pengertian istilah mudharabah di defenisikan Wabbah Zuhaili sebagai berikut:
Mudharabah adalah akad penyerahan modal oleh si pemilik modal kepada pengelola untuk di perdagangkan dan keuntungan dimiliki bersama oleh keduanya sesuai dengan persyaratan yang mereka buat.
Yang dimkasud dengan mudharabah adalah suatu akad antara dua pihak dimana salah satu pihak memberikan modal kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi diantara mereka berdua sesuai dengan kesepakatan mereka.
                    Dari defenisi tersebut dapat dipahami bahwa muudharabah adalah suatu akad atau perjanjian antara dua orang atau lebih, dimana pihak pertama memberikan modal usaha, sedangkan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian,dengan ketentuan bahwa keuntungan dibadi antara mereka dengan kesepakatan yang mereka tetapkan bersama.
b.  Dasar hukum mudharabah
                    Para ulama mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya dibolehkan berdasarkan alquran, sunah, ijma’ dan qiyas. Adapun dalil alquran antara lain (Qs. Al-Muzammil:20)
وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُوْنَ فِي اْلاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah”.[7]
c.  Rukun dan syarat mudharabah
Dalam menetapkan rukun mudharabah para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Ulama Hanafiyah mengemukakan rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang diucapkan oleh dua orang yang berakad, tidak diisyaratkan lafaz tertentu, tetapi kad sudah sempurna dengan lafaz yang menunjukan pengertian mudharabah. Rukun mudharabah menurut pandangan jumhur ulama ada empat, yakni aqidain (dua orang yang berakad), ma’quh ‘alaih (objek akad), sighat (ijab dan kabul).Sementara itu rukun mudharabah menurut ulama Syafi’iyah ada lima, yakni harta, pekerjaan, keuntungan, sighat dan dua orang yang berakad.
Mengenai syarat mudharabah dikalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat. Wahbah Zuhaily berpendapat untuk sahnya suatu akad mudharabah  harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
a)      Syarat yang terkait dengan orang yang berakad,ialah cakap untuk berwakil, menerima wakil, dan tidak diisyaratkn keduanya muslim.
b)      Syarat modal yaitu, modal berbentuk uang, modal harud diketahui jumlahnya, modal harus tunai tidak berupa utang dan modal diserahkan kepada pekerja.
c)      Syarat yang terkait dengan laba yakni, laba diketahui jumlahnya, laba dinbagi menurut ukuran tertentu sesuai dengan kesepakatan seperti seperdua,sepertiga dan sebagainya[8].
Menurut ulama Syafi’iyah rukun-rukun qiradh ada enam ,yaitu:
a)      Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
b)      Orang yang bekerja
c)      Aqad mudharabah
d)     Mal (harta)
e)      Amal (pengelolaan harta)
f)       Keuntungan
Menurut Sayyid Saqid, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian[9].
d.  Jenis akad mudharabah
Mudharabah diklasifikasikan kedalam 3 jenis yaitu mudharabah muthlaqah, mudharabah Muqayyadah, mudharabahMusytarakah. Berikut adalah pengertian masing-masing jenias mudharabah.
a)      Mudharabah Muthlaqah adalah mudharabah dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya.
b)      Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana, lokasi, cara, dan sektor usaha.
c)      Mudharabah Musytarakah adalah mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi.[10]
e.   Hal-hal yang membatalkan mudharabah
Mudharabah dapat batal karena hal-hal sebagai berikut:
1)      Pembatalan, larangan tasarruf dan pemecatan
2)      Meninggalnya salah satu pihak
3)      Salah satu pihak terserang penyakit gila
4)     pemilik modal murtad
5)      Harta mudharabah rusak di tangan mudharib.[11]
f.  Aplikasi mudharabah pada perbankan syariah
Akad mudharabah di bank syariah diterapkan pada produk-produk penghimpunan dana masyarakat (funding) dan penyaluran dana (financing). Pada sisi funding, mudharabah diterapkan pada:
a)      Tabungan, baik tabungan biasa maupun tabungan berjangka, seperti tabungan haji dan kurban. Prod uk penghimpunan dana ini didasarkan kepada fatwa Dewan Syariah Nasional No.02/DSN-MUI/IV/2000 tentang tabungan. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan dana yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b)      Deposito,baik deposito biasa maupun deposito spesial dimana dana yang dititipkan pada bank khusus untuk  bisnis tertentu. Produk ini didasarkan pada Fatwa Dewan Syariah Nasional No.03/DSN-MUI/IV/2000 tentang deposito. Pada fatwa ini, yang dimaksud dengan deposito adalah simpanan dana berjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.[12]

3.  MUZARA’AH

a.   Defenisi Muzara’ah
Muzara’ah dalam arti bahasa berasal dari wazn mufa’alah dari akar kata zara’a yang sinonimnya: anbata yang berarti menumbuhkan dan mengembangkan. Muzara’ah yang fiil madhinya zara’a seperti dalam kalimat zaraahu muzaraatan yaitu ia bermuamalah (mengadakan kerja sama) dengan cara muzara’ah.
Dalam pengertian istilah,muzara’ah diartikan sebagai berikut:
Muzara’ah adalah suatu cara untuk menjadikan tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerja sama antara pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi diantara mereka berdua dengan perbandingan yang dinyatakan dalam perjanjian atau perdasarka urf (adat kebiasaan).[13]
Secara terminologis terdapat beberapa defenisi muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqih.
a)      Ulama Malikiyah,mendefenisikan, muzara’ah adalah perserikatan dalam pertanian.
b)      Ulama Hanabillah,mendefenisikan, muzara’ah adalah penyerahan tanah pertanian kepada seeorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi dua.
c)      Imam Syafi’i, mendefenisikan,muzara’ah adalah pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian sedangkan bibit pertanian disediakan oleh penggarap tanah.
Jadi muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan bibit tanaman berasal dari pemilik tanah.[14]
b.  Dasar hukum muzara’ah
a)      Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanam-tanaman.
b)      Diriwatkan oleh Bukhari dari Jabir yang menyatakan bahwa bangsa arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3, 2/3, 3/4,1/2 dan 1/2, maka Rasulullah SAW pun bersabda:”Hendaklah menanami dan menyerahkannya untuk di garap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya”.
c.  Rukun dan syarat muzara’ah
Rukun muzara’ah
a)      Pemilik lahan
b)      Penggarap
c)      Lahan yang di garap
d)     Akad
Syarat-syarat muzara’ah
a)      Pemilik lahan harus menyerahkan lahan yang akan di garap kepada pihak yang akan menggarap.
b)      Penggarap wajib memiliki keterampilan bertani dan bersedia menggarap lahan yang di terimanya.
c)      Penggarap wajib memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila pengelolaan yang dilakukan menghasilkan keuntungan.
d)     Akad muzara’ah dapat dilakukan secara multak atau terbatas.
e)      Penggarap wajib memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi lahan, keadaan cuaca, serta cara yang memungkinkan untuk mengatasinya menjelang musim tanam.
f)       Hak penggarap lahan dapat dipindahkan dengan cara diwariskan bila penggarap meninggal dunia sampai tanamannya bisa dipanen.[15]
d.  Bentuk-bentuk muzara’ah
Bentuk-bentuk muzara’ah ada empat, yakni:
a)      Lahan dan bibit dari pemilik lahan, sedangkan kerja dan peralatan pertanian dari petani.Bentuk akad muzara’ah seperti ini dibolehkan karena petani menerima hasil pertanian karena jasanya.
b)      Pemilik lahan menyediakan lahan pertanian, bibit, peralatan partanian, dan kerja dari petani. Akad muzara’ah ini dibolehkan, karena yang menjadi objek akad ini adalah mamfaat lahan pertanian.
c)      Lahan pertanian, bibit, dan peralatan pertanian dari pemilik lahan, sedangakan kerja dari petani. Akad muzara’ah ini dibolehkan karena yang menjadi objek muzara’ah adalah jasa petani.
d)     Lahan pertanian dan peralatan pertanian dari pemilik lahan sedangkan bibit, dan kerja dari petani. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan Asy-Syaibani akad ini tidak sah, karena peralatan pertanian harus mengikuti kepada petani bukan pemilik lahan. Mamfaat lahan adalah untuk mengolah lahan pertanian.
e.  Berakhirnya akad muzara’ah
Akad muzara’ah berakhir dalam keadaan sebagai berikut:
a)      Habis batas waktu akad muzara’ah
b)      Salah seorang yang berakad meninggal dunia, menjadikan akad muzara’ah berakhir.
c)      Akad fasakh disebabkan adanya uzur (halangan) yang menyebabkan terhalangnya kedua belah pihak melangsungkan akad muzara’ah diantaranya: pemilik lahan terbelenggu utang yang menyebabkan dia pailit sehingga lahan pertanian tersebut harus di jual, dan pemilik lahan mempunyai halangan,seperti harus melakukan perjalanan sehingga ia tidak dapat melangsungkan akad.[16]
 




PENUTUP

 

  Kesimpulan         

Dari pembahasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa dari kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari yang namanya muamalah. Sebagian dari kita pasti ada yang berkecimpung dalam dunia perekonomian. Dalam islam ada beberapa macam bentuk kerja sama,seperti Syirkah, Mudharabah dan Muzara’ah.
Muzara’ah adalah bentuk kerja sama dalam bidang pertanian, sedangkan mudharabah adalah bentuk kerja sama dengan sistem meminjam modal dalam bentuk uang dan Syirkah adalah bentuk kerjasama dengan menanggung untung dan kerugiannya bersama-sama.

 Saran

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun para pembaca terutama dari dosen mata kuliah ini, agar dapat pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan sarannya penulis  ucapkan terima kasih.



















 

 

DAFTAR PUSTAKA


Dr.Rozalinda.2017, Fikih Ekonomi Syariah.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Wardi Muslich,Ahmad.2017,Fikih Muamalah.Jakarta:Sinar Grafika Offset
Mustofa,Imam.2016, Fikih Muamalah Kontemporer.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Ghazaly, Abdul Rahman,Gufron Ihsan dan Syafiudin Shidiq.2012,Fikih Muamalat.Jakarta:Kencana
Mardani.2013, Fikih Ekonomi Syariah.Jakarta:Kencana
Suhendi,Hendi.2014, Fikih Muamalah.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada


[1] Ahmad Wardi Muslich, Muamalah Fikih (Jakarta:Sinar Grafika Offset,2017) hlm 339-341
[2] Imam Mustofa,Fikih Muamalah Kontemporer (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2016) hlm129-130
[3] Rozalinda,Fikih Ekonomi Syariah (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2017) hlm 193-194
[4]  Ahmad Wardi Muslich, Muamalah Fikih (Jakarta:Sinar Grafika Offset,2017) hlm 344-346
[5] Rozalinda,Fikih Ekonomi Syariah (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2017) hlm 200-201

[6] Ibid, hlm. 205
[7]  Ahmad Wardi Muslich, Muamalah Fikih  (Jakarta:Sinar Grafika Offset,2017) hlm. 366-367

[8]  Rozalinda,Fikih Ekonomi Syariah (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2017) hlm.208

[9] Hendi Suhendi, Fikih Muamalah (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2014) hlm.139
[10] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2017) hlm 211-212

[11] Ahmad Wardi Muslich, Muamalah Fikih (Jakarta:Sinar Grafika Offset,2017) hlm. 388-390
[12] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2017) hlm. 212

[13] Ahmad Wardi Muslich, Muamalah Fikih (Jakarta:Sinar Grafika Offset,2017) hlm. 391-392

[14] Abdul Rahman Ghazaly,Gufron Ihsan dan Syafiudin Shidiq , Fikih Muamalat (Jakarta:Kencana,2012) hlm. 114-115
[15] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah (Jakarta:Kencana,2013) hlm. 238-239                          
[16] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah  (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2017) hlm. 222-234

Makalah fikih muamalah

Transaksi Kerja Sama Bagi Hasil  Oleh:  Delfa Gusfita  Prodi Ekonomi Syariah  Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN IB Pad...